Perkembangan Musik Jogja Dulu Hingga Sekarang
10 mins read

Perkembangan Musik Jogja Dulu Hingga Sekarang

Perkembangan Musik Jogja Dulu Hingga SekarangRasanya mustahil membicarakan perkembangan musik daerah Jogja dari dulu hingga sekarang dalam satu artikel. Saat diminta mendeskripsikan segala sesuatu tentang musik di Jogja hanya dalam tiga kata, kata pertama yang terlintas di benak adalah “istimewa”, “beda”, dan “srawung”.

Perkembangan Musik Jogja Dulu Hingga Sekarang

Perkembangan Musik Jogja Dulu Hingga Sekarang

theaddamsfamilymusicalstore – Ingatlah bahwa wawasan dari berbagai sumber yang coba saya tulis di bawah ini hanyalah ilustrasi dan pengenalan singkat sebelum kita membicarakan hal yang lebih spesifik tentang keadaan saat ini pada artikel berikut ini. Ada yang baru di dalam Dunia musik Jogja.

Sebagai pendatang dari kota kecil di ujung pantai selatan Jawa, merupakan sebuah keistimewaan bagi saya bisa tinggal di Jogja selama lebih dari sepuluh tahun. Dari segi geografis, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tergolong istimewa karena berbatasan dengan Samudera Indonesia di selatan, Gunung Merapi di utara, Sungai Progo di barat, dan Sungai Opak di timur.

Bayangkan ketika Anda sedang lelah dan membutuhkan tempat untuk “manjakan diri”, ada sesuatu untuk penduduk sekitar sehingga banyak pilihan yang bisa dilakukan- Anda dapat memilih dari. Mulai dari destinasi alam seperti gunung, sungai, pantai, hingga destinasi budaya seperti candi dan museum, semuanya masih bisa dijangkau dalam jarak dekat.

Jogja juga dikenal dengan banyak julukannya. Mulai dari kota Gudeg, kota pelajar, kota wisata, kota seni dan budaya, kota seniman, kota komunitas, kawasan ini sering mendapat julukan “Indonesia mini”. Berkat kehadiran generasi muda dari seluruh daerah tersebut, perkembangan seni budaya di Jogja semakin istimewa dan beragam. Tak heran jika banyak seniman dari berbagai bidang lahir di wilayah ini, mulai dari seniman, aktor/aktris, hingga penari dan musisi.

Kekhasan dan keragaman musik di Jogja sebenarnya sudah lama kita temukan. Namun karena minimnya “kesempatan” yang kerap dialami musisi Jogja di era 80an dan 90an, banyak nama yang luput dari perhatian. Rolland adalah nama depan yang layak disebut. Band kelahiran 1984 ini pernah tampil di panggung rock ibu kota pada festival heavy metal Jakarta yang diselenggarakan majalah Vista pada tahun 1986. Rolland kerap berjasa memantik band-band Jogja lain untuk bersaing di kancah nasional.

Keunikan dan keragaman musik di Jogja sebenarnya sudah kita temukan sejak lama. Namun karena minimnya “kesempatan” yang kerap dialami musisi Jogja pada era 1980-an dan 1990-an, banyak nama yang luput dari perhatian. Band Rolland adalah nama pertama yang disebutkan.

Pada awal tahun 1990-an, ketika musik rock dalam negeri didominasi oleh musisi Jakarta, Bandung, dan Surabaya, diketahui ada band asal Jogja yang tampil di acara penyelenggara rock Indonesia. festival Log Zhelebour telah membuat nama untuk diri mereka sendiri. Sebut saja Partha Putri, girlband pelajar yang berhasil menjadi finalis Festival Rock Indonesia V tahun 1989, dan juga grup Cassanova yang berhasil meraih juara kedua Festival Rock Indonesia VII tahun 1993. Selain itu ada band Yogya Rock Also Power Zone 11, CCB, Ambisi dan Thoraq yang aktif menjadi bagian dari dinamika musik rock di Jogja pada tahun 1980-an.

Baca Juga : Pegertian Tentang Musik Indie

Genre jogja thrash metal dan death metal mengalami masa keemasannya pada tahun 1990 hingga 1994. Diantaranya adalah band Traxtor, Reaktor, Cremation, Speed ​​​​​​​​​​​​​​Ranger dan Depranter yang awalnya hanya sebuah proyek band iseng oleh sekelompok siswa sekolah menengah, namun berhasil memenangkan kompetisi Thrash Metal pada tahun 1992. Kebangkitan musik Hip-hop di Jogja juga mulai terasa di awal tahun 1990-an dengan kontribusi unik G-Tribe yang memasukkan lirik-lirik bahasa Jawa dalam album Partai Rap 1 tahun 1995 yang dirilis oleh Musica Studios.

Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa dan Purwanto turut berkontribusi dalam meningkatkan keberagaman musik di Jogja dengan mendirikan grup artis Kua Etnika pada tahun 1995. Grup ini mengeksplorasi musik etnik yang diolah dengan sentuhan modern. Jika kita telusuri lebih jauh perkembangan musik kontemporer mendiang legenda. Sapto Raharjo juga menciptakan gerakan dengan pendekatan eksperimental yang populer sejak awal tahun 1990-an melalui gamelannya.

Sebaliknya, alm. Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa dan Purwanto turut berkontribusi dalam meningkatkan keberagaman musik di Jogja dengan mendirikan grup artis Kua Etnika pada tahun 1995.

Musik Jogja

Memasuki era pertengahan 90an hingga awal 2000an, gaung “Invasi Jogja” semakin merambah ke industri musik Indonesia. Kalau di Jakarta ada Gang Potlot, ada juga Gang Alamanda di Jogja yang menjadi tempat lahirnya banyak musisi. Banyak band yang merekam demo mereka di Studio Alamanda sebelum mencoba mendapatkan pijakan di perusahaan rekaman di Jakarta. Band jebolan Gang Alamanda antara lain Sheila On 7, The Rain, Es Nanas, Jikustik, Newdays, LaQuena dan Endank Soekamti.

Sungguh memalukan, Sidestream pergerakan musik dan jalur utama non-label di Jogja saat itu. Banyak band kesulitan dengan DIY (Do It Yourself). Mereka yang berasal dari sekolah, universitas, komunitas dan kolektif berupaya semaksimal mungkin untuk memproduksi musiknya sendiri. Saya yakin kita sendiri sering mendengar atau mengalami situasi di mana semakin terdesak keadaan seseorang, maka semakin kreatif usahanya. Misalnya saja perilisan album debut Shaggydog pada tahun 1998 yang berhasil terjual hingga 20.000 kopi dengan usaha mandiri mereka sendiri tanpa banyak dukungan pada saat itu.

Dengan dimulainya era pertengahan 90an hingga awal 2000an, gaung “Invasi Jogja” semakin cepat merambah industri musik Indonesia. Kalau di Jakarta ada Gang Potlot, ada juga Gang Alamanda di Jogja yang menjadi tempat lahirnya banyak musisi.

Seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, batas-batas bawah tanah sepertinya menghilang. Dengan beralihnya platform mendengarkan dari analog ke digital, setiap pencipta karya akhirnya mempunyai kesempatan yang sama untuk menghasilkan karya dan bersaing dalam bidang yang sama dalam menerbitkan karyanya untuk menjangkau pendengar.

Sekitar tahun 2009-2014, di tahun-tahun awal kedatangan saya di Jogja, saya belum terlalu familiar dengan dunia musik di sini, namun tiba-tiba saya bersemangat ketika mengetahui beberapa proyek musik yang pernah ada. sudah ada juga lahir di jogja, sebagai berikut. di seluruh radio dan platform Soundcloud , termasuk Aurette dan The Polska Seeking Carnival (AATPSC), Olski, Answer Sheet, Frau, Risky Summerbee dan The Honeythief (RSTH) dan The Monophones. Bagaikan menemukan harta karun di tengah gempuran musik yang kerap muncul di acara-acara televisi saat itu.

Kekhasan dan keberagaman belantika musik Jogja tidak hanya datang dari para pelaku proyek musik saja, namun juga dari berbagai komunitas, kolektif, dan venue yang berani mandiri memberikan ruang bagi pertunjukan musik kecil-kecilan. dengan segala keterbatasannya, mulai dari penyewaan tempat, alat, hingga sarana beriklan melalui media sosial. Regenerasi musisi biasanya terjadi pada konser-konser kecil. Dari tempat-tempat tersebut, saya akhirnya bisa belajar dan merasakan langsung betapa kuatnya budaya “srawung” di belantika musik Jogja, baik di kalangan penggiat maupun penikmat yang semuanya mendukung .

Regenerasi musisi seringkali terjadi di konser-konser kecil. Dari tempat-tempat tersebut akhirnya saya bisa merasakan dan merasakan langsung betapa kuatnya budaya “srawung” di belantika musik Jogja, baik dikalangan penggiat maupun penikmat yang masing-masing dukungan

Srawung adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti perkumpulan atau pertemuan yang diadakan oleh lebih dari satu orang atau kelompok. Dalam tradisi masyarakat pedesaan, mereka mengenal istilah “ srawung ” karena merupakan sarana untuk saling menceritakan realitas kehidupan. Srawung juga berarti kontak sosial di mana orang bertemu, menyapa, dan mengobrol satu sama lain dalam waktu singkat dalam suasana akrab. Selain itu, “ srawung ” dimaknai sebagai pertemuan saling bertemu hingga timbul perasaan, dimana kita belajar dan mendapat inspirasi dari orang lain, maka kita berdiskusi segala hal disana, mulai dari hal-hal sepele hingga perbincangan tentang hobi dan isu-isu terkini di dunia. Indonesia, untuk melakukan diskusi serius seperti program kegiatan lingkungan hidup dan tindakan sosial kemanusiaan.

Contoh konser yang sukses di kalangan anak muda “indie” saat itu adalah “Lelagu”, sebuah acara musik akustik dan seni visual di Kedai Kebun Forum yang diadakan sejak Mei 2013. Hampir Setiap Bulan ini, band-band Jogja dari berbagai genre, mulai dari pop, folk, rock, punk, hingga eksperimental saling bersaing menampilkan lagu-lagunya dalam format akustik. Lelagu juga menjadi wadah penjajakan seniman-seniman muda yang menghadirkan seni rupa dalam logika performatif. Sayangnya, Lelagu hanya dapat bertahan sampai tahun 2016.

Untungnya, seiring berjalannya waktu, ekosistem antara musisi, komunitas, kolektif, dan pecinta musik di Jogja bisa dikatakan semakin dinamis. Sebelum pandemi, acara-acara yang berhubungan dengan seni diadakan di Jogja hampir setiap akhir pekan, antara lain pertunjukan musik, pameran seni, pertunjukan teater, pemutaran film dan masih banyak lagi.

Contoh kolektif yang sering mengadakan konser antara lain YK Booking, Kongsi Jahat Syndicate, Terror Weekend, Imaginary Allies, dan Ruang Weed. Ada juga komunitas yang rutin mengadakan acara mingguan hingga bulanan. Misalnya Komunitas Jogja Jazz dengan Jazz Mben Senennya, Jogja Blues Forum dengan Blues On Fridaynya dan masih banyak lagi yang lainnya.

Semakin banyak penyedia platform tempat talenta-talenta baru dapat mempresentasikan karyanya. Contoh kolektif yang sering mengadakan konser antara lain YK Booking, Kongsi Jahat Syndicate, Terror Weekend, Imaginary Allies, dan Ruang Weed. Ada pula komunitas yang menyelenggarakan acara rutin mulai dari program mingguan hingga bulanan. Misalnya Komunitas Jogja Jazz dengan Jazz Mben Senennya, Jogja Blues Forum dengan Blues On Fridaynya dan masih banyak lagi yang lainnya. Jogja juga memiliki kafe-kafe yang menjadi titik pertemuan yang rutin memberikan ruang bagi para musisi untuk beregenerasi, misalnya Journey Coffee & Records dengan Laidback Journey-nya dan MOL Event & Space dengan sesi dengar pendapatnya Debarbar.

Meskipun teman-teman penyelenggara konser independen ini terkena dampaknya, mereka perlahan-lahan kembali menyelenggarakan acara secara rutin sejak pertengahan tahun 2022 hingga saat ini. Pasca pandemi, kita tidak hanya akan menemukan nama-nama banyak musisi atau grup baru, tetapi juga nama-nama komunitas, kolektif, dan festival baru.

Proyek musik kelahiran dan membesarkan Jogja yang diyakini mampu menarik perhatian anak muda masa kini antara lain The Melting Minds, LOR, The Kick, The Bunbury, Nood Kink, Circle Fox dan Sunlotus. Namun bukan hanya itu saja, masih banyak teman musisi lainnya yang belum saya sebutkan. Kolektif-kolektif dan komunitas-komunitas baru juga semakin bermunculan, tak jarang mengadakan konser-konser independen, seperti Collective 37, Kultura Space, Out Of Step, Bertumumbu, Big City Noise Club, Cangkang, Karang Noise, Valley Club, Hura-Hura Club dan masih banyak lagi yang lainnya.

Belum lagi festival musik. Jogja juga baru-baru ini meluncurkan festival musik baru yang patut mendapat perhatian lebih: Cherrypop Festival. Program festival didominasi oleh proyek musik Jogja. Benar-benar konsep baru dan sayang jika dilewatkan. Saya berharap perkembangan musik di Jogja menjadi lebih istimewa dan beragam dan saya berharap masyarakat lebih ramah terhadap satu sama lain.